Home Top Ad

Derita Pekerja Anak Di Tambang Materi Baku Smartphone

Share:
Derita Pekerja Anak di Tambang Bahan Baku Smartphone Derita Pekerja Anak di Tambang Bahan Baku Smartphone

.com - Lebih dari 40.000 anak di Republik Demokratis Kongo harus memikul berkilo-kilo hasil tambang kobalt setiap hari. Pekerjaan itu dilakukan 12 jam penuh untuk upah maksimal 2 dollar AS  atau setara Rp 27.000.
Salah satu dari mereka ialah yatim 14 tahun berjulukan Paul. Sudah dua tahun ia bekerja di tambang kobalt. Sejak itu, ia rutin sakit sebab beban kerja yang tak manusiawi.
"Saya bisa bekerja 24 jam penuh. Datang pagi dan pulang keesekon paginya. Ibu angkat saya ingin saya sekolah. Tapi ayah angkat saya memaksa saya bekerja di tambang," kata dia, sebagaimana tertera pada situs resmi forum pegiat hak asasi Amnesty USA, dan dihimpunKompasTekno, Rabu (20/1/2016).
Eksploitasi anak menjadi lumrah di Kongo. Utamanya di industri-industri pertambangan kobalt. Negara di Afrika Tengah tersebut memang dikenal sebagai produsen kobalt terbesar di dunia.

Kobalt untuk baterai smartphone

Kobalt dipakai sebagai materi baku baterai lithium pada smartphoneyang kita gunakan sehari-hari. Beberapa vendor kawakan seperti Apple,Samsung, dan Microsoft, terindikasi memakai baterai lithium dari kobalt hasil ekspoitasi bawah umur di Kongo.
Hal tersebut diungkap Amnesty International dan tim peneliti Afrewatch. Mereka mewawancarai 87 penambang dari lima industri tambang kobalt di Konga.
Mereka juga mewawancarai 18 pedagang kobalt yang mengambil sumber daya dari lima tambang tersebut. Salah satu yang terbesar ialah Huayou Cobalt.
Huayou menyuplai kobalt ke tiga perusahaan komponen baterai lithium. Masing-masing ialah Ningbo Shanshan dan Tianjin Bamo dari China, serta L&F Materials dari Korea Selatan.

Pada 2013 lalu, ketiga perusahaan tersebut membeli lebih dari 90 juta dollar AS atau setara Rp 1,2 triliun kobalt dari Huayou.

Ketimpangan kesejahteraan
Lalu, bagaimana dengan vendor-vendor smartphone yang menikmati proses final dari kobalt? laba mereka masing-masing mencapai puluhan miliar dollar AS per tahun.

Jauh dari upah maksimal 2 dollar yang diterima bawah umur di Kongo. Setahun saja, mereka paling banter meraup 712 dollar AS atau setara Rp 9,9 juta.

Ketimpangan antara kesejahteraan bawah umur di Konga dengan vendor-vendor smartphone itu memicu Amnesty International mengkritisi proses yang terjadi selama ini. 
"Industri tambang ialah daerah kerja terburuk bagi anak-anak, mengingat ancaman kesehatan dan keamanan yang ditimbulkan," kata tim peneliti dari Amnesty International Mark Dummet.
"Perusahaan-perusahaan dengan laba total 125 triliun dollar AS tak bisa mengklaim mereka tak bisa mengecek dari mana komponen-komponen produk mereka berasal," ia menambahkan.
Setidaknya ada 16 perusahaan teknologi yang dimaksud Dummet, yakni Ahong, Apple, BYD, Daimler, Dell, HP, Huawei, Inventec, Lenovo, LG, Microsoft, Samsung, Sony, Vodafone, Volkswagen dan ZTE.
Melalui jalur diplomasi, Amnesty International dan Afrewatch meminta pemerintah tetapkan regulasi yang mengikat. Mulai dari jejeran industri tambang, penyuplai, sampai pabrikan smartphone.
"Tanpa aturan yang mengharuskan perusahaan mengecek dari mana sumber komponen, mereka akan terus mengambil laba dari penindasan hak asasi manusia. Pemerintah harus bertindak," kata Dummet.

Tidak ada komentar