.com - Anda mungkin terkejut melihat pendiri Facebook Mark Zuckerberg mendapatkan kunjungan Presiden Jokowi di markasnya dengan memaki kaos oblong. Anda mungkin menganggap beliau tidak sopan. Anda tidak sendiri.
Michael Pachter, seorang analis pasar modal terkemuka di Wall Street untuk bidang video game, media sosial, media digital, dan elektronik juga sependapat dengan Anda. Pachter beropini bahwa Zuckerberg tidak bakir balig cukup akal dengan gayanya itu tatkala ia menghadiri penjualan saham perdana (IPO) Facebook di Wall Street dengan menggunakan kaos oblong.
Michael Pachter, seorang analis pasar modal terkemuka di Wall Street untuk bidang video game, media sosial, media digital, dan elektronik juga sependapat dengan Anda. Pachter beropini bahwa Zuckerberg tidak bakir balig cukup akal dengan gayanya itu tatkala ia menghadiri penjualan saham perdana (IPO) Facebook di Wall Street dengan menggunakan kaos oblong.
Bagi pelaku pasar modal Wall Street, setelan jas yaitu satu-satunya pakaian yang pantas dikenakan di sana. Karena itu Pachter menuduh Zuckerberg bersikap tidak sopan kepada para calon investornya, orang-orang yang beliau harapkan memberinya uang.
Kenyataan memberikan bahwa Pachter keliru. Para investor ternyata tidak terlalu peduli dengan penampilan Zuckerberg. Saham Facebooklaris, dan jumlah penggunanya terus bertambah dengan cepat.
Mengapa Zuckerberg menentukan untuk menggunakan kaos oblong, dan semua kaosnya nyaris serupa? Ia memberi alasan bahwa setiap hari ia harus menciptakan begitu banyak keputusan penting terkait pelayanannya kepada 1,5 milyar pengguna Facebook.
Ia berambisi menjadikan Facebook sebagai sesuatu yang sangat penting, sama menyerupai pentingnya energi listrik bagi kita ketika ini. Maka, ia menentukan untuk menggunakan energi pikirnya hanya untuk hal-hal penting terkait dengan pelayanan tadi.
Memikirkan baju apa yang hendak dipakai, menyesuaikan dengan aneka macam program yang akan beliau hadiri yaitu sesuatu yang “bodoh” berdasarkan Zuckerberg. Dalam bahasa kita, itu yaitu sesuatu yang mubazir.
Ia berambisi menjadikan Facebook sebagai sesuatu yang sangat penting, sama menyerupai pentingnya energi listrik bagi kita ketika ini. Maka, ia menentukan untuk menggunakan energi pikirnya hanya untuk hal-hal penting terkait dengan pelayanan tadi.
Memikirkan baju apa yang hendak dipakai, menyesuaikan dengan aneka macam program yang akan beliau hadiri yaitu sesuatu yang “bodoh” berdasarkan Zuckerberg. Dalam bahasa kita, itu yaitu sesuatu yang mubazir.
Tidakkah ini terdengar mengada-ada? Tidak. Bagi kita yang bekerja dengan ritme sederhana, kita tentu punya cukup energi untuk memikirkan hal-hal yang tak perlu. Tapi bagi orang-orang yang super sibuk, menciptakan puluhan atau ratusan keputusan setiap hari, hidup jadi sungguh melelahkan.
Mereka mengalami sesuatu yang disebut decision fatigue, kelelahan (karena) pembuatan keputusan. Mereka perlu menyerdehanakan banyak hal, sehingga tidak memerlukan energi untuk memikirkannya.
Mereka mengalami sesuatu yang disebut decision fatigue, kelelahan (karena) pembuatan keputusan. Mereka perlu menyerdehanakan banyak hal, sehingga tidak memerlukan energi untuk memikirkannya.
Sebenarnya Zuckerberg tidak sendiri. Obama pun berpikir dengan cara yang sama. Yang berbeda hanya pada pilihan jenis pakaian. Obama menentukan sesudah jas berwarna biru sebagai identitasnya.
Tentu saja Zuckerberg juga bukan yang pertama. Steve Jobs kita kenal dengan kaos kerah kura-kura, sedangkan Bill Gates sering tampil menggunakan sweater. Hanya saja Zuckerberg sedikit lebih ekstrim, baik dari sisi pilihan jenis busana maupun frekuensi pemakaiannya.
Tentu saja Zuckerberg juga bukan yang pertama. Steve Jobs kita kenal dengan kaos kerah kura-kura, sedangkan Bill Gates sering tampil menggunakan sweater. Hanya saja Zuckerberg sedikit lebih ekstrim, baik dari sisi pilihan jenis busana maupun frekuensi pemakaiannya.
Kita terbiasa menilai orang dari pakaian yang ia kenakan, bukan substansi yang terkandung pada sosok tersebut. Di sisi lain kita juga sering berhadapan dengan kenyataan bahwa gambaran yang dibangun melalui dandanan necis tidak selalu benar.
Banyak orang yang sudah tertipu dengan hal ini, namun tetap saja persepsi awalnya tidak berubah. Persepsi itulah tampaknya yang hendak dibongkar Zuckerberg melalui kaos oblong yang ia kenakan. Ia ingin orang melihat kualitas produk dan layanan yang ia berikan, tanpa ambil pusing dengan pakaian yang ia kenakan.
Banyak orang yang sudah tertipu dengan hal ini, namun tetap saja persepsi awalnya tidak berubah. Persepsi itulah tampaknya yang hendak dibongkar Zuckerberg melalui kaos oblong yang ia kenakan. Ia ingin orang melihat kualitas produk dan layanan yang ia berikan, tanpa ambil pusing dengan pakaian yang ia kenakan.
Seorang analis fashion berkomentar,”When you’re a massively proven success, you get to break the rules.” Kalaupun Zuckerberg berdandan menyerupai Lady Gaga, orang akan tetap menggunakan produknya, dan membeli sahamnya.
Zuckerberg yaitu sosok luar biasa, berdiri pada posisi yang luar biasa, maka ia sanggup mematahkan aneka macam hukum yang mengikat orang-orang biasa.
Zuckerberg yaitu sosok luar biasa, berdiri pada posisi yang luar biasa, maka ia sanggup mematahkan aneka macam hukum yang mengikat orang-orang biasa.
Bagi orang Indonesia tolong-menolong hal ini tidak sama sekali baru. Kita pernah punya Bob Sadino yang selalu menggunakan celana pendek dan baju kotak-kotak ke mana pun ia pergi. Ia pernah hadir di rapat dengar pendapat di dewan perwakilan rakyat dengan pakaian itu, kemudian ditolak. Namun dalam aneka macam acara lain Bob Sadino diterima apa adanya, sebagaimana Zuckerberg.
Jokowi yang menjadi tamu Zuckerberg di markasnya intinya yaitu orang yang sepikiran dengan Zuckerberg. Ia punya busana khas, yaitu baju putih, atau baju kotak-kotak. Tentu saja sebagai presiden ia tidak sanggup memakainya di semua acara. Namun ia tolong-menolong sedang memberikan hal yang sama, bahwa substansi bukan pada pakaian.
Jadi, apakah Zuckerberg tidak menghormati Jokowi dengan menggunakan kaos oblong? Bukan begitu. Kita harus memahami bahwa begitulah adanya Zuckerberg.
Pertanyaannya, di masa depan akankah aneka macam hukum busana (dress code) yang berlaku kini runtuh oleh sosok-sosok menyerupai Zuckerberg? Rasanya kemungkinan itu masih sangat kecil, alasannya yaitu bagaimanapun juga sosok menyerupai Zuckerberg tetaplah minoritas dalam hal kuantitas. Tapi itu pun tidak sama sekali mustahil. Fashion yaitu sesuatu yang secara natural akan berubah.
Di masa mudanya KH Wahid Hasyim pernah menggegerkan pesantren ayahnya alasannya yaitu berbusana lain dari yang lain. Ia menggunakan celana ketika semua santri menggunakan sarung. Namun kini kita saksikan bahwa pemakai sarung justru menjadi minoritas.
Di masa mudanya KH Wahid Hasyim pernah menggegerkan pesantren ayahnya alasannya yaitu berbusana lain dari yang lain. Ia menggunakan celana ketika semua santri menggunakan sarung. Namun kini kita saksikan bahwa pemakai sarung justru menjadi minoritas.
Jadi, kita boleh membayangkan, di masa depan para petinggi perusahaan melaksanakan aneka macam pertemuan bisnis penting dengan pakaian sesuka mereka. Pasti terlihat selalu keren.
Tidak ada komentar